Sambutlah senyum persahabatan saya :)
Selamat datang di rumah saya yang penuh dengan ide-ide dan cerita saya. Bagi sahabat yang ingin share atau menitipkan sebait 'senyum'nya dipersilahkan...

Kamis, 05 Mei 2011

SANG PENGIBAR

Matahari sudah condong ke barat. Sedikit tersembunyi oleh semburat jingga yang terpapar di kaki langit. Sekolahku sudah sepi dari satu jam yang lalu. Aku masih menunggu Bu Indah. Asap berjelaga membuat mataku pedih. Pak Zain yang sedang membakar sampah tak jauh dari tempatku duduk tertawa.
“Tidak usah kau risau meninggalkan sekolah ini, Akbar. Sampai keluar pula airmata,” canda Pak Zain, penjaga sekolah yang masih tampak gagah meskipun usianya sudah kepala enam.
“Bukan sekolah yang kurisaukan, melainkan kain sarung bapak. Asyik kali bapak menjolok sampah yang ditengah, sampai tak sadar ujung sarung terbakar,” balasku mengoloknya.
Serta merta Pak Zain mengibaskan sapu lidi di tangannya ke ujung kain sarungnya. Sementara itu, Bu Indah telah selesai mengemas barang-barang yang akan kubawa. “Semua sudah beres, Akbar. Angkatlah tas itu. Selamat jalan dan hati-hati di sana ya.” Bu Indah menyerahkan kertas yang berisi daftar barang-barang yang harus kubawa selama karantina.
“Terimakasih, Bu.” Kusalam beliau dengan takzim. Kalau saja Bu Indah muhrimku, mungkin sudah kupeluk dan kucium pipinya sebagai tanda terimakasihku. Bu Indah, wali kelasku. Guru yang sangat peduli dengan siswa-siswanya. Anak-anak pesisir yang terkenal tidak peduli dengan sekolah. Berkat bimbingan beliau, kami paham bahwa sekolah bukan untuk mencari pekerjaan tetapi untuk mencari ilmu. Setidaknya sudah tidak ada lagi teman-temanku yang bolos karena ikut ke laut sebagai nelayan pada hari sekolah.
*****
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Telah satu jam aku berada di ruang tunggu bandara. Orang-orang pemerintahan yang mengantarku dan Lisa telah entah kemana. Lisa sama sepertiku, utusan propinsi sebagai pasukan pengibar bendera di Istana Negara. Kulihat Lisa begitu asyik dengan notebooknya. Jemari lentiknya lincah menekan satu tombol ke tombol yang lain. Mulutnya mengunyah permen karet. Dia terlihat begitu santai. Dia pasti sudah terbiasa naik pesawat, pikirku. Ini adalah kali pertama aku naik pesawat. Aku ingin ummi dan ayah mengantarku sampai ke bandara seperti orangtua Lisa. Tetapi karena ketiadaaan biaya membuat mereka hanya mengantarku sampai stasiun kereta api di kampungku. Ada sedikit perih di sudut hatiku, mengingat kembali bagaimana aku bisa sampai di sini. Aku begitu bangga dan senang ketika dinyatakan sebagai anggota pasukan pengibar bendera Sang Saka Merah Putih di Istana Negara pada tanggal 17 Agustus mewakili propinsiku. Kudengar ucap syukur berulang-ulang pada yang Kuasa ketika berita ini kusampaikan pada orangtua dan kepala sekolahku. Tiba-tiba saja aku menjadi terkenal di kampung. Semua orang membicarakanku. Anak kampung yang berhasil ke Jakarta. Bertemu langsung dengan Bapak Presiden. Bisa jalan-jalan gratis ke Jepang. Biasanya setelah selesai melaksanakan tugas, para anggota Paskibraka akan diajak jalan-jalan ke luar negeri secara gratis, tahun ini ke Jepang. Bisa masuk TV. Hal-hal yang sangat diimpikan anak kampung seperti aku. Dan akan kulalui, bukan dalam mimpi! Aku diizinkan pulang beberapa hari untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa selama karantina di Jakarta. Aku serahkan daftar itu pada Kepala Sekolah.
“Yang mana yang sudah disediakan panitia di propinsi, Akbar?” tanya Pak Muslim mengambil pulpennya. Aku terdiam. Bodohnya aku, kenapa aku tidak bertanya. Dasar orang kampung! Makiku pada diriku sendiri.
“Tidak tahu, Pak!” jawabku lemah. Pak Muslim memandangku, tersenyum arif. Ditekannya beberapa angka di telepon. Dengan ramah beliau minta penjelasan tentang daftar tersebut pada orang yang di telepon.
“Semua barang yang ada di daftar ini disediakan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Tidak ada lagi dana dari propinsi. Habis hanya untuk kegiatan seleksi saja,” jelas Pak Muslim miris. Ditangkupkannya kedua tangan di depan wajah. Khas Pak Muslim jika beliau sedang berpikir. Beliau tahu, orangtuaku tidak mungkin menyediakan barang-barang tersebut sendirian. Ada baju batik, sepatu lars, pakaian olahraga lengkap, kaus dalam berwarna putih dan lain-lain. Satu pun tidak ada yang kumiliki. Belum lagi biaya perjalananku ke Jakarta. Ditekannya kembali beberapa angka di telepon. Kudengar dia memohon bantuan dana pada orang yang di telepon. Dengan sedikit menghentak dia meletakkan telepon.
“Dari pemerintahan daerah juga tidak bisa mengeluarkan bantuan dana.” Kembali beliau menangkupkan kedua tangannya.
“Kembalilah dulu ke kelas, Akbar,” perintahnya. Aku berjalan gontai di koridor menuju kelasku. Aku membawa nama baik kabupaten bahkan propinsi, tetapi kenapa tidak ada yang peduli. Apa semua yang menjadi anggota pasukan pengibar bendera di Istana Negara harus orang kaya? Pulang sekolah, Pak Muslim mengadakan rapat dengan para guru. Mereka berdiskusi bagaimana cara membantuku.
“Tidak ada gunanya mengharap pemerintah,” ujar Pak Muslim datar kepada para guru. “Bagaimana kalau kita buat acara tepung tawar untuk Akbar, Pak. Kita undang para pejabat daerah termasuk Bapak Bupati. Bisa dikatakan, Akbar membawa nama baik daerah. Sebagai kepala daerah tentunya beliau akan malu bila tidak hadir, apalagi belum pernah ada siswa di daerah kita yang menjadi anggota Paskibraka nasional” usul Pak Agus.
“Benar, Pak. Sekalian kita undang wartawan. Yang namanya pejabat, kalau masuk koran atau TV menampakkan wajah palsunya. Kelihatan paling peduli dan antusias agar mendapat pujian dari masyarakat,” timpal pak Solihin. Semua setuju. Aku memakai pakaian adat Melayu lengkap berwarna kuning. Aku duduk di depan menghadap para tamu, bagai seorang raja. Kulihat Pak Muslim bercakap-cakap dengan Bapak Bupati. Teman-temanku bersama para guru duduk di belakang para tamu. Mereka mengacungkan tangan mereka memberi semangat kepadaku. Acara tepung tawar dimulai dengan serangkaian upacara formil, karena Bapak Bupati hadir. Kulihat ayah gemetar dan gugup memberikan kata sambutannya. Belum pernah aku melihat beliau menangis. Ia hanya mengatakan ia bangga padaku. Terus berulang-ulang. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya. Setelah selesai, satu per satu tamu menyiramku dengan beras, daun pandan dan bunga yang telah dipotong-potong serta memercikkan air ke tubuhku. Setelah itu mereka menyalamkan amplop yang berisi uang ke tanganku. Begitulah adat tepung tawar di daerahku. Aku terharu ketika para guru dan teman-teman juga ikut menyalamkan amplop ke tanganku.
“Ini dari teman-teman sekelas kita,” Siti menyerahkan kotak dibungkus kertas koran.
“Makasih,” kataku malu. Malu karena merasa betapa miskinnya aku di depan gadis yang kutaksir. Aku serahkan semua uang yang kuperoleh pada Pak Muslim. Setelah dihitung, ternyata masih kurang. Pak Muslim mengajakku ke rumahnya, istri beliau telah menunggu.
“Akbar, kau tunggu Bu Indah di sini. Kalian akan pergi membeli barang-barang yang kau butuhkan. Bapak dengan ibu pergi sebentar!” Bu Hayati tersenyum di boncengan suaminya. Sepeda motor honda tahun 90an itu melaju meninggalkan asap tipis di depanku. Ternyata Pak Muslim pergi menjual gelang emas istrinya untuk menutupi kekurangan biayaku. Pak Muslim tidak mengatakannya padaku, tetapi Bu Indah yang keceplosan bicara.
“Terimakasih, Pak!” Kupeluk Pak Muslim layaknya ayahku. Kusalam suami istri yang begitu kukagumi kepribadiannya. Tidak ada kata untung rugi dalam memberi pertolongan.
“Akbar, ayo! Sudah dipanggil tuh!” suara Lisa membuyarkan kenanganku. Dengan bergegas aku menyusulnya menuju pesawat. Menuju Istana Negara demi mengibarkan Sang Saka Merah Putih di hari jadi bangsaku. Dalam hati kubernyanyi dengan bangga seperti Kikan Coklat, ‘Merah Putih teruslah kau berkibar, di ujung tiang tertinggi....’
*****
Penghujung kelas tiga, inilah saat-saat untuk menentukan arah takdir setelah lulus SMA. Semua siswa SMA berlomba-lomba untuk masuk di perguruan tinggi favorit. Teman-temanku juga. Fadli mencoba peruntungannya di Fakultas Kedokteran. Irsyad si jenius lebih tertarik ke Fakultas Teknik. Siti mengikut teladan Bu Indah untuk menjadi guru profesional yang disenangi semua siswa. Aku tidak memiliki harapan untuk melanjut ke perguruan tinggi. Karena alasan klasik, tidak ada biaya. Aku masih memiliki sedikit harapan untuk sukses seperti teman-temanku yang lain. Dengan sertifikat sebagai anggota Paskibraka nasional, aku berharap bisa dipertimbangkan lulus menjadi taruna di Akademi Polisi atau paling tidak Sekolah Polisi Negara. Pelajaran baris-berbaris dan ketahanan fisik, aku ahlinya.
“Majuuuu Jalan!” aba-abaku pada takdir.
*****
Gemerlap cahaya putih berserakan di langit kelam. Bulan separuh terpancang di atas lautan maha luas. Tubuhku berayun mengikuti irama kapal yang dibuai ombak. Suara air terdengar menampar-nampar dinding kapal. Bau laut memenuhi rongga hidungku, aku telah terbiasa. Sejauh mata memandang hanya hitam. Aku berada di tengah milyaran galon air yang terjebak dalam gravitasi dan rotasi bumi. Hari ini, dua tahun sejak kelulusanku.
“Akbar, mengapa pula kau melamun? Cepat tarik jalanya!” perintah ayah. Aku tersentak. Kutarik jala. Kukerahkan tenaga yang ada.
“Tidak banyak, Yah,” ujarku melihat gelepar ikan-ikan yang tersangkut di jala. “Lupa kau bersyukur, Akbar.” Ayah memandangku. Pandangan yang menusuk jantungku. Aku tertunduk. Meremas kulit tanganku yang mengeras dan kasar.
“Bagaimanapun kau sekarang, tetap bersyukur, Akbar. Ayah tetap bangga pada kau.” Ayah mengajakku duduk di sampingnya. Senyum arifnya seakan menelanjangi kegagalanku. Aku kecewa gagal masuk polisi. Aku kecewa ketika mendengar Syaiful berhasil masuk Sekolah Polisi Negara. Syaiful, temanku yang tukang bolos dan ‘balik kanan’ saja tidak tahu. Ibunya sesumbar telah menghabiskan uang puluhan juta untuk kelulusannya. Aku malu pada orang-orang yang begitu bangga mengantarku menjadi anggota Paskibraka di Istana Negara. Orang-orang yang yakin aku akan lulus menjadi seorang polisi.
“Takdirmu tidak berhenti ketika kau gagal masuk polisi, Akbar. Ayah tidak pandai memberi nasehat seperti orang-orang pintar di TV. Begini, takdir terdiri atas banyak pintu, dimana setiap orang hanya bisa membuka satu pintu dalam satu waktu. Aturannya, ketika ada satu pintu tertutup untukmu,maka ada pintu lain terbuka untukmu. Temukanlah pintu itu, Akbar. Ayah berharap kau menemukan orang besar dalam dirimu. Itulah mengapa ayah menamakanmu Akbar.” Ayahku yang hanya seorang nelayan, begitu arif memaknai hidup.
“Aku bangga menjadi anakmu, Yah. Karena kau masih percaya, aku akan menjadi orang besar!” bisikku pada ayah yang sangat kuhormati. Kutatap langit bertabur bintang. Aku menemukan diriku di sana. Di dalam cahaya. Aku akan menemukan pintu itu. Pasti!
* TAMAT*
Alhamdulillah, cerpen ini dimuat di majalah Annida Online tanggal 2 Mei 2011.
klik disini http://www.annida-online.com/artikel-2959-sang-pengibar.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar