Sambutlah senyum persahabatan saya :)
Selamat datang di rumah saya yang penuh dengan ide-ide dan cerita saya. Bagi sahabat yang ingin share atau menitipkan sebait 'senyum'nya dipersilahkan...

Sabtu, 04 Juni 2011

AKU INGIN BICARA

Cerpen Oleh : Nur Aisyah Siregar




Sakit itu mulai terasa di hatinya. Selalu sama di awal bulan manapun. Gelap sudah mulai turun ketika Lala tiba di rumahnya. Setelah menegur keluarganya sejenak, ia bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia mengganti pakaiannya, kemudian membaringkan tubuhnya. Ia ingin segera membasuh tubuhnya dengan air, tetapi tubuhnya bagai magnet yang menempel kuat pada ranjangnya. Ia terlalu lelah untuk itu.

Belum 15 menit ia berbaring mengusir rasa lelah yang menggerogoti setiap inci tubuhnya, terdengar ketukan di pintu kamarnya. “Masuk, Bu!” sahutnya ketika suara di depan pintu memanggilnya.

“Bu Karta tadi datang lagi, dia marah-marah sama ibu. Ibu bilang aja besok akan kita bayar. Ada kan, La?”

Lala bangkit dan menyeret kakinya menuju meja untuk mengambil tas kerjanya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari dalamnya dan menyerahkannya pada ibunya. “Lala belum gajian, ada sedikit masalah di kantor. Jadi, tadi Lala pinjam uang Diva dulu,” jelas Lala pada Ibunya.

“Kalau bisa bulan depan jangan telat, La. Ibu malu dikata-katai Bu Karta.”

Lala mengangguk sedih. Apakah Ibu mengerti kesulitanku? Bisik hatinya pedih. Aku ingin bicara!

***

“La, kayaknya baju kamu wajib ganti deh,” kata Diva memutar tubuh Lala dan mengamati apa yang dikenakannya.

“Apaan sih? Ini kan masih bagus,” bela Lala risih dikomentari penampilannya, pura-pura mendelik pada bayangan Diva di kaca toilet di kantor.

“Bagus apanya? Warnanya udah kusam gitu, tambah lagi sepatu kamu yang itu-itu aja. Padahal gaji kamu gede. Kamu beli aja tiap bulan satu baju lengkap sama sepatunya, sisa gaji kamu juga masih banyak. Sorry ya La, habisnya penampilan kamu sederhana banget, berbanding terbalik dengan gaji kamu. Gimana coba mau menarik perhatian Pak Richi. Kamu kan tau Pak Richi suka cewek yang fashionable. Wajarlah, dia kan seorang eksekutif muda yang banyak aktifitas, banyak ketemu orang, pastinya ingin mencari pasangan yang bisa dibawa ke tengah,” cecar Diva yang bikin wajah Lala bersemu merah. Diva, sahabatnya adalah satu-satunya orang yang tau kalau ia naksir bosnya itu. Itupun secara tidak sengaja, waktu Diva menemukan kertas berisi curahan hati Lala pada Pak Richi di majalah yang dipinjam Lala.

“Jadi maksud kamu, aku gak bisa dibawa ke tengah?” tanyanya.

“Dari segi penampilan ya, tetapi dari segi akhlak, kamu wajib dipilih,” tegas Diva. “La, Kamu sebenarnya sangat cantik, kekurangan kamu cuma penampilan yang sederhana banget, yang lain oke, brain dan behavior.”

“Kayak mau ikutan pemilihan Putri Indonesia aja, Di,” seloroh Lala namun Diva tidak merubah ekspresinya. Lala kembali serius mendengarkan, ia tahu sahabatnya itu sedang sangat serius. Dan lagi, ini tentang dirinya. Apa yang dikatakan Diva biasanya benar, walaupun dalam beberapa hal, termasuk penampilan, ia berusaha untuk mengabaikannya.

“Munculkan inner beauty kamu dengan performance yang menarik, gak perlu glam kalau gak suka, simple but chic. Jadi, orang senang dekat dengan kamu. Aku gerah dengar gosip miring tentang kamu, selalu aja tentang penampilan kamu yang minus, dibandingkan dengan gaji kamu yang plus. Yang paling parah, maaf La, bau badan kamu. Padahal gak bau, cuma karena kamu gak wangi, mereka ngatain kamu Lala si BB atau Lala si pelit,” suara Diva penuh tekanan, kelihatan dia menahan marahnya. Lala terdiam. Dia gak habis pikir, kenapa orang-orang di kantornya bisa mengatainya begitu di belakangnya. Apalagi hanya karena ia tidak memakai parfum.

Hari Minggu ia pergi ke rumah Diva. Dari pagi sampai sore Diva mengajarnya cara bermake-up sederhana tetapi menawan, mengenalkannya pakaian-pakaian yang trend saat ini, memberitahunya kisaran harga-harga aksesoris untuk merubah penampilannya, membantunya membuat daftar barang yang harus dipriotaskan untuk dibeli, bahkan memberinya hadiah seperangkat make-up kit.

“Ingat ya, La! Resepsi pernikahanku dua minggu lagi. Kamu harus datang! Aku gak mau kamu cari-cari alasan buat gak datang, seperti resepsinya Ica,” ancam Diva sambil mengajarkannya bermake-up sederhana buat ke pesta.

“Iya,” kata Lala tidak yakin. Aku ingin bicara!

“Sempurna!” ujar Diva. Lala mengamati dirinya di dalam cermin, Diva berhasil membuatnya tampak lebih bersinar. Diva tersenyum senang.

***

“Darimana, Kak?” tanya Lala melihat Tata masuk ke rumah dengan membawa beberapa kantongan. Lala mengikuti Tata menuju kamarnya.

“Dari toko pakaian si Ayis. Banyak barang baru, cantik-cantik lagi. Kakak aja ambil 3 potong,” Tata memamerkan isi dari kantongan yang dibawanya.

Lala mengambil pakaian yang berwarna coklat, warna favoritnya. Cantik. Entah kenapa hati Lala terasa sakit. Apa karena ia juga menginginkannya.

“Nah, yang kamu pegang itu harganya seratus limapuluh ribu, La. Murah kan?” promosi Tata.

Lala hanya mengangguk. Tata terus berbicara tentang bahan pakaiannya, modelnya, di sinetron apa muncul model seperti itu dan siapa artis yang memakainya, Sementara, Lala berada jauh sekali dari Tata. Dia sedang membayangkan dirinya dengan pakaian-pakaian itu di kantornya. Semua teman kerjanya memandang kagum padanya.

Lamunannya buyar, suara Ibu yang tiba-tiba mengejutkannya,”Beli pakaian baru lagi, Ta?”

Tata hanya tersenyum. “Cantik kan, Bu?” Tata mematut dirinya di cermin dengan pakaian barunya. Dia berputar-putar, mengamati setiap detil pakaiannya.

“Warnanya cocok dengan sepatu yang kamu beli minggu lalu,” sahut ibu kagum dengan putrinya yang cantik.

“Ibu tau aja. Pakaian ini aku beli memang untuk sepatu baruku. Lihat, Bu! Cocok banget kan? Ini mau Tata pakai ke acara resepsi pernikahan Diva besok, Bu.” Ibu mengacungkan dua jempolnya ke Tata. Lala tersenyum miris melihat hal itu.

Tata bebas beli pakaian, sepatu, tas dan berbagai kebutuhan penampilannya kapan pun ia mau. Padahal gaji Tata jauh di bawah Lala. Lala segera menghilang dari kamar kakaknya. Dia takut air matanya tumpah di sana. Dia bingung bagaimana besok ke resepsi pernikahan Diva, sahabat yang selalu ada di sampingnya, suka maupun duka. Apakah dia harus mencari alasan agar tidak datang? Seperti yang biasanya ia lakukan jika ada undangan resepsi pernikahan teman-temannya.

***

Brak! Diva menghentakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja Lala. “Aku gak butuh ini dari sahabat yang munafik kayak kamu!”

“Maksud kamu apa, Di?” Lala sudah tau Diva akan marah, tapi dia tidak menduga Diva memulangkan kado pernikahan darinya.

“Kamu bilang kamu sakit, padahal itu cuma alasan kamu saja. Benar kan?” Lala tak kuasa menjawab, bahkan memandang Diva dia segan. “Kamu tahu, persahabatan kita...” lanjut Diva sinis, dikibaskannya tangannya, tampak kekecewaan di wajahnya. “Aku jadi berpikir, apa kamu memang seperti yang dibilang orang-orang,” Lala mendongak menatap Diva, ingin mengetahui lebih jauh apa yang disembunyikan Diva.

“Apa, Di? Apalagi yang mereka bilang?” Lala berusaha tegar. Dia siap mendengar hal terburuk tentang dirinya.

“Kamu itu… Lesbian!” bentak Diva, lalu ia pergi meninggalkan Lala yang terpukul.

Lesbian? Kenapa mereka berpikir seperti itu? Kenapa harus aku? Kenapa aku tidak bisa membela diriku? Ini bukan salah Diva atau teman-teman kantornya. Dia tidak bisa jujur, bahkan pada dirinya sendiri. Dia tidak datang ke pesta sahabatnya sendiri, karena ia tidak punya pakaian untuk ke pesta. Ia malu bila datang berbarengan dengan Tata, mereka akan terlihat bagai langit dan bumi. Dia tidak ingin nantinya mereka mengatainya yang lebih parah lagi.

***

“Kak, tolong aku. Bantu aku membayar hutang kita pada Bu Karta. Aku butuh sekali uang bulan ini,” mohon Lala pada Tata yang sedang membaca majalah.

“Maksud kamu aku yang bayar?” sinis Tata.

“Gak, Kak. Gak semuanya, sepertiganya aja,” jawab Lala cepat.

“Kalau kamu mau bayar bulan depan, aku bantu. Anggap aja kamu pinjam padaku.”

“Gak bisa begitu, Kak. Bulan depan harus Lala cari dari mana. Gaji Lala kan tetap…”

“Mana kutahu!” potong Tata. “Itu masalah kamu! Karena itu tanggung jawab kamu!”

“Tapi hutang itu…”

“Basi!” Tata membanting majalahnya ke meja dan pergi meninggalkan Lala yang sangat kecewa.

Lala bingung harus ke mana lagi meminjam uang. Tawaran beasiswa S2 ke Australia benar-benar menarik minatnya, tetapi ia harus melalui serangkaian tes yang membutuhkan biaya. Ia berpikir itulah satu-satunya jalan agar ia bisa pergi dari kota ini. Kota yang hanya menyisakan kesendirian kepadanya. Diva maupun teman-teman kantornya sekarang mengucilkannya. Hanya tinggal menunggu waktu untuknya melepaskan pekerjaannya sekarang.

***

“Pak Richi?” Lala terkejut setengah mati melihat siapa tamu di depan pintu. Dan Richi juga sama terkejutnya dengan Lala. Dengan gugup Lala mempersilahkan Richi masuk. Lala tampak salah tingkah, ia merasa senang tetapi juga bingung bagaimana Richi tahu rumahnya. Oh, bodohnya aku, di kantor aku kan meninggalkan alamat, pikir Lala bodoh. Malam minggu pula ini. Ya Tuhan, apakah ini buah dari kesabaranku? Terima kasih, Tuhan, Kau kabulkan mimpi yang tidak pernah kubayangkan menjadi kenyataan, doa Lala begitu bahagia.

“Bapak mau minum apa?” tanya Lala dengan manisnya.

“Anu… Eh, gak usah repot-repot, La.”

Seumur hidupnya belum pernah Lala melihat bosnya gugup seperti itu. “Ya udah, Lala ke dalam dulu, Pak.” Richi mengangguk.

Lala bergegas ke dapur. Disempatkannya ke kamar untuk merapikan rambutnya dan menaburkan bedak tipis di wajahnya. Segelas teh manis hangat telah terletak rapi di tatakannya. Dia berjalan perlahan ke ruang tamu. Ia ingin terlihat seanggun ia bisa.

“Jadi, Lala adik kamu?” terdengar suara Richi dari ruang tamu. Lala berjalan makin perlahan.

“Iya, Memangnya kenapa, Mas? Kok kayak gak percaya gitu. Emang gak mirip ya?” suara Tata terdengar manja.

“Kalau diperhatikan wajah kalian ada kemiripan. Tetapi penampilan kalian benar-benar berbeda. Kamu itu tahu cara menjadi seorang wanita yang sempurna, sedangkan Lala sangat cuek terhadap penampilannya. Bahkan katanya dia lesb.. Ah, sudahlah, kita pergi sekarang?” Richi tidak melanjutkan ucapannya.

Lala berlari menuju kamarnya. Nampan berisi teh manis hangat tergeletak di lantai dekat ruang tamu. Tata menendangnya ketika masuk hendak permisi ke ibu. Terdengar kegaduhan dari ruang keluarga. Lala tidak peduli. Dikuncinya kamar. Dia tidak mau diganggu. Dia tidak menjawab panggilan ibunya di pintu. Dia begitu hancur. Hatinya benar-benar sakit. Dia sebenarnya menyukai bosnya itu. Tetapi orang yang paling diidamkannya malah memilih kakaknya. Dalam marah dan kecewanya dia hanya mampu diam bertopang lutut sambil berurai air mata. Dia terlalu takut menyakiti hati orang lain, sehingga dia tidak mampu menyampaikan apa yang ia rasakan.

Bahkan ketika ayahnya meninggal dan mewariskan hutang, dia tidak mampu menolak ketika ibu dan kakaknya menunjuknya sebagai pewaris hutang ayahnya pada seorang rentenir, yang membuat hutang ayahnya menjadi berlipat ganda tiada habisnya. Kata ibunya karena dia bersikeras melanjut ke perguruan tinggi membuat ayah berhutang pada Bu Karta, sang rentenir. Padahal ayah pernah berkata, sebagian besar uang yang dipinjam ayah digunakan untuk renovasi rumah atas desakan ibu dan kebutuhan konsumtif ibunya. Dia mulai mencicil hutang itu sejak mulai bekerja di kantor Richi, sehingga yang tersisa hanya uang untuk ongkos mikrolet dan makan siang yang kadang-kadang kurang.

Dia benci ayahnya yang mewariskan hutang padanya. Dia benci ibunya yang tidak peduli padanya dan lebih menyayangi Tata. Dia benci Tata yang telah merebut Richi darinya. Dia benci Diva dan semua orang yang mengatainya dan memusuhinya, padahal mereka tidak tahu ia juga tidak ingin seperti itu. “Akh.....” Lala menjerit, kepalanya seakan mau pecah.

***

“Kamu sudah sadar?” Lala mendengar suara serak ibunya. Kepalanya masih sakit, pandangannya masih mengabur. “Berbaringlah dulu, kamu tadi pingsan,” lanjut suara itu lagi.

Pandangannya sudah mulai jelas. Aku harus bicara, batinnya. “Bu, aku mau bertanya, apa... apa aku anak kandung ibu?” tanyanya sedih.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Sudahlah, jangan macam-macam, istirahat saja dulu,” elak Ibu.

“Kenapa aku berbeda dengan Tata?” lanjutnya membandel. “Kenapa hanya aku yang mewarisi hutang ayah? Kenapa ibu tidak pernah mengoreksi penampilanku? Kenapa hanya Tata dan selalu Tata yang beruntung? Kenapa...”

Plak! Lala merasakan panas di pipinya. Air mata mengalir di pipinya, tanpa isak.

“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Kamu tidak sadar, dari kecil kamu selalu melukai hati kakakmu. Semua keinginanmu selalu dipenuhi oleh ayahmu, sementara kakakmu yang tidak dianugerahi otak pintar seperti kamu harus selalu merasa rendah diri karena terus menerus dibanding-bandingkan denganmu. Jadi sangat wajar kalau hutang ayahmu diwariskan padamu kan?”

Lala terdiam, merangkum kejadian-kejadian silam antara dia, Tata dan ayah mereka. Ayah akan mengajaknya membeli mainan kesukaannya setiap dia memenangkan cerdas cermat di sekolah. Setelah itu, ibu juga akan mengajak Tata membeli mainan yang sama.

“Tiap malam dia selalu menangis, ketika belajar dengan ayahmu. Ayah selalu memarahinya karena nilainya tidak sempurna seperti kamu. Sampai kalian SMA, ayah tetap memperlakukan kalian dengan tidak adil. Wajar kan bila ibu memberikan dia perhatian yang lebih dari kamu, karena hanya ibu yang memahaminya. Ibu selalu mendorongnya agar berpenampilan semenarik mungkin, karena dia tidak sepintar kamu! Ibu ingin dia juga mempunyai kehidupan yang baik, seperti kamu!” Hening di antara mereka. Ibu memandang jauh. Bermain dengan pikirannya sendiri.

“Aku mengerti... Aku minta maaaf.” Lala mengusap air matanya. “Tapi Bu, tolong... anggap aku juga anakmu... karena... karena... sekarang aku... mengalami apa yang pernah dirasakan... Tata... aku sendirian...” isak Lala. Bahunya terguncang, sekuat tenaga ia menahan air mata yang hendak tumpah.

Ibu memandangnya sedih, direngkuhnya Lala dalam pelukannya. Dibelainya rambut Lala, Lala merasakan sangat merindukan Ibunya. “Maafkan Ibu, La. Maafkan Ibu,” Ibu dan anak itu berpelukan. Menangis dalam penyesalan.

***

Di bandara Sukarno-Hatta.

“Hati-hati di sana ya, La. Segera kirim kabar ke ibu kalau sudah sampai di sana.” Lala mengangguk, diciumnya pipi wanita itu.

“Kak, aku pergi. Jaga ibu ya,” pintanya pada Tata.

“Beres. Jangan lupa dua bulan lagi pernikahanku. Kau harus datang, atau aku tak akan pernah menganggapmu adikku!” ancam Tata.

Lala tersenyum. Pernikahan lagi! Batinnya. Apakah dia harus mencari alasan agar tidak datang? Seperti yang biasanya ia lakukan jika ada undangan resepsi pernikahan teman-temannya. Kali ini senyum terukir di wajahnya. Aussie, I’m coming!

T A M A T
dimuat di majalah annida Online tanggal 3 juni 2011

Source :
http://www.annida-online.com/artikel-3225-aku-ingin-bicara.html
gambar :http://www.annida-online.com/foto_berita/52hoho.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar